Dalam kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab Al-Imam An-Nawawi mengatakan, Qunut shubuh itu hukumnya sunnah. Dan ini adalah pendapatnya sahabat Abu bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallohu 'anhum. Berikut ini perkataan beliau dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab juz 3 halaman 504 :
في مذاهب العلماء في إثبات القنوت في الصبح: مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نزلت نازلة أو لم تنزل وبها قال أكثر السلف ومن بعدهم أو كثير منهم وممن قال به أبو بكر الصديق وعمر بن الخطاب وعثمان وعلي وابن عباس والبراء بن عازب رضي الله عنهم رواه البيهقي بأسانيد صحيحة وقال به من التابعين فمن بعدهم خلائق وهو مذهب ابن أبي ليلي والحسن ابن صالح ومالك وداود وقال عبد الله بن مسعود وأصحابه وأبو حنيفة وأصحابه وسفيان الثوري وأحمد لا قنوت في الصبح. ( المجموع, ج : 3, ص : 504
Terjemah:
Mazhab para ulama dalam penentuan hukum Qunut Shubuh. Dalam mazhab kami Qunut Shubuh itu disunnahkan. Baik ketika ada nazilah ataupun tidak terjadi nazilah. Dan ini adalah pendapat sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu abbas dan Al-Barro’ bin azib rodhiyallohu 'anhum. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih. Para tabiin juga berpendapat demikian. Dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Dawud.
Sedangkan Abdullah Ibnu Mas'ud, Abu Hanifah, Sufyan Ats-tsauri dan Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa tidak ada Qunut dalam Salat Shubuh.
Selanjutnya Imam An-Nawawi masih dalam Kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab terlebih dahulu menyebutkan dalil-dalil yang digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali yang menolak Qunut Shubuh. Sebenarnya mazhab Hanafi dan Hanbali sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab bahwa mereka menggunakan dalil dari hadits nabi yang jumlahnya tidak sedikit yaitu sekitar tujuh buah hadis.
Saya sarankan bagi pembaca untuk menghafal terlebih dahulu dalil-dalil madzhab Hanafi dan Hanbali di bawah ini di luar kepala. Karena nanti Al-Imam An-Nawawi akan membantah, menghabisi dan menjawab semua dalil-dalil itu satu persatu di dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
Pertanyaan :
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid'ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?
Jawab :
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur'an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid'ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
"Siapa yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak". Dan dalam riwayat Muslim : "Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak".
- Dan ini hendaknya tidak dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama
Bagaimana jika sang imam qunut subuh?
Ibnu Taimiyyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ “Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti” dan juga bersabda لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ “Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian”, dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya beliau bersabda يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ، وَعَلَيْهِمْ “Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi kalian dan kesalahan bagi mereka. Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?. Adapun mendahului imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah bin Mas’uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata الخِلاَفُ شَرٌّ Perselisihan itu buruk” (Al-Fataawa Al-Kubro 1/229)
Beliau juga berkata, “Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad msekipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali. Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap mengikuti imam atau tidak?-pent)” (Jaami’ul Masaail 5/388)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar